tidak sekedar nasional religius, soekarno juga pembaharu islam
(catatan untuk Ibnu Djarir)
Menarik membaca tulisan Ibnu Djarir berjudul “Pandangan Bung Karno tentang Islam” (wawasan, 1/6/2004). Dalam artikel itu Ibnu Djarir menulis, Soekarno adalah seorang nasionalis tulen, yang memiliki begitu banyak pengagum, pendukung, dan (penganut fanatik) yang ingin meneruskan dan melaksanakan perjuangannya.
Proklamator dan Orator ulung itu, begitu dikenal tidak hanya oleh orang Indonesia, tetapi juga di belahan bumi lain. “… di Mekkah dan Madinah, hingga kini masyarakat arab lebih mengenal nama Ahmad Soekarno daripada nama pemimpin yang lain,” tulis Ibnu Djarir.
Ibnu Djarir, dalam tulisannya itu juga mengulas tentang bagaimana (seharusnya) Islam dalam pandangan soekarno, dan memaparkan ide-ide pokok yang disarankan Soekarno.
Tentang Nasionalisme
Soekarno memang tokoh yang unik dan sangat jenius. Ia juga terkenal sangat populis dan membenci yang namanya kapitalisme-kolonialisme-imperialisme. Ia belajar tentang nasionalisme, tidak hanya dari buku-buku yang banyak dibacanya. Namun, ide, semangat, dan rasa nasionalismenya juga muncul dari pergulatan dan perenungannya atas realitas yang menimpa rakyatnya pada waktu itu.
Marhaenisme, misalnya, adalah ide yang dikemukakan setelah ia bertemu dengan seorang petani miskin bernama Marhaen, yang akhirnya digunakan untuk menyebut ‘ajarannya’ sebagai sosialisme marhaenisme. Yaitu sosialisme yang berangkat dari realitas bangsa Indonesia sendiri, bukan sosialisme marxisme, yang menginginknan terwujudnya negara tanpa kelas.
Berbicara tentang ide nasionalisme Soekarno, banyak buku yang bisa menjelaskannya. Diantaranya kita dapat menemukan pada Lahirnya Pancasila dalam Mr. Soepardo DKK, Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia” (1962).
Namun, dalam mendefinisikan nasionalisme, ia banyak dipengaruhi oleh pendapat Renan, Otto Bauer, dan Ki Bagoes Hadikusumo atau Munandar. (Badri Yatim, 1985).
Renan berpendapat, nasionalisme yaitu kehendak akan bersatu, orang-orangnya merasa diri satu, dan mau bersatu. Otto beranggapan, bangsa adalah satu kesatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Sedang Ki Bagoes Hadikusumo atau Munandar berpendapat, nasionalisme adalah persatuan antara orang dan tempat.
Dari ketiga tokoh tersebut, akhirnya Soekarno membuat definisi tentang apa itu nasionalisme. Hingga, Ia sampai pada kesimpulan, nasionalisme itu terdiri dari rasa ingin bersatu, persatuan peranagi dan nasib, serta persatuan antara orang-orang dan tempat.
Bahkan, dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” (1965), ia tidak hanya mendefinisikan nasionalisme secara umum seperti dipahami oleh Renan, Otto dan Ki Bagoes Hadikusumo atau Munandar. Dalam salah satu ‘karya monumentalnya’ itu, ia bahkan mengemukakan tentang nasionalime islam.
“Di mana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu, ia masih menjadi satu bahagian daripada rakyat islam. Di mana-mana, disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya. Inilah nasionalisme Islam,” tulisnya.
Kalau mau memahami secara seksama dan mendalam, sebenarnya apa yang kemukakan Soekarno, tidak lebih adalah penggambaran dari kehidupan Rasulullah Muhammad Saw, pada waktu di Madinah, setelah Hijrah dari Makkah dan membentuk pemerintahan di negeri yang awalnya bernama Yatsrib itu. Di mana ditekankan dan diajarkan pada saat itu, semua merasa setiap orang islam adalah saudara, sehingga harus saling hidup berdampingan, bahu-membahu, dan tolong menolong dalam memajukan pemerintahan dan kemakmuran madinah. Laiknya satu tubuh, jika salah satu anggota badannya sakit, maka sakitlah seluruh badannya.
Tentang Islam
Soekarno memang tidak terdidik di lembaga pendidikan berbasis agama. Sewaktu belajar, ia lebih banyak bergelut dengan dunia keilmuan dan realitas sosial yang menindas, yang sangat menyesakkan dadanya, akibat penjajahan yang dilakukan Belanda. Ia sangat dekat dengan rakyat kecil. Bahkan, ketika masih belajar di ITB, ia terkenal sering mengunjungi pelosok-pelosok desa untuk mengetahui dan melihat secara langsung kehidupan rakyatnya yang sangat miskin dan tertindas.
Namun bukan berarti, ia nol dan tidak paham agama. Karena, seperti ditulis Ibnu Djarir, ia justru belajar agama pada tokoh-tokoh agama waktu itu; KH. Achmad Dahlan, HOS Cokroaminoto, KH. Mas Mansoer, dan KH. A. Hassan, disamping belajar sendiri dari buku-buku yang dibacanya.
Dalam pandangannya, Islam adalah agama duniawiyah dan rohaniyah sekaligus (Badri Yatim, 1985). Sehingga, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Islam sendiri mengajarkan agar kaum muslimin tidak menafikan kehidupan duniawi. Mendahulukan akhirat boleh dan sah-sah saja, tapi non nense mengabaikan dunia. Karena dunia adalah tempat menanam amal akhirat yang akan dipetik hasilnya kelak (ad-dunya mazra’atul akhirat).
Baginya, Islam adalah agama yang sempurna, yang memuat prinsip-prinsip keadilan, tolong menolong, persamaan hak (egaliter), dan persaudaraan.
Uniknya, Soekarno melihat Islam dari sisi dunia. Seperti ditulis Fachry Ali dalam pengantarnya di buku “Soekarno, Islam dan Nasionalisme” karya Badri Yatim. Soekarno melihat Islam dari sisi dunia. Dari realitas yang terjadi dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. “Salahkah Soekarno melihat islam dari sudut pandang dunia?”
Lebih lanjut Fachry menulis, salahkah Soekarno yang menjadi orang Jawa terlebih dahulu, dan berdasarkan itu ia melihat Islam?
Pembaharu
Ada banyak kritik yang dikemukakan Soekarno berkaitan dengan Islam, yang hingga kini, agaknya masih perlu dicermati dan ditindaklanjuti. Seperti ketika ia mengemukakan sebuah statemen, bahwa hadits tidak harus dijadikan dasar hukum. Karena banyak juga hadits-hadits yang diragukan kesahihannya alias hadits dlaif. Juga statemen yang mengatakan bahwa islam adalah agama duniawiyah dan rohaniyah sekaligus.
Apa yang dikemukakannya, adalah upaya untuk mengurai adanya dikotomi dunia-akhirat yang dipahami masyarakat selama ini. Bahwa dunia dan akhirat, tidaklah terpisah, tetapi saling melengkapi. Keduanya harus sama-sama diperjuangkan dan diraih; fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirah hasanah.
Baginya, Islam penuh dengan ide-ide perubahan. Karenanya, tidak heran jika umat Islam selama tujuh abad lamanya, mampu memegang kendali peradaban dunia, yaitu pada masa the glory of islam atau dikenal pula the golden age of islam. Karena itu, masa keemasan islam yang kini hilang itu, harus direbut kembali. Karena islam adalah agama perubahan dan kemajuan.
Seperti tertuang dalam salah satu suratnya yang dikirim kepada A. Hassan dari Endeh. “Islam is progress. Islam itu kemajuan. Begitulah telah saya tulis dalam surat saya yang terdahulu. Kemajuan karena fardlu, kemajuan karena sunnah, tetapi juga karena kemajuan, karena diluaskan dan dilapangkan oleh aturan jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui batas-batas zaman.”
Berangkat dari kritik dan ide-ide pembaharuan yang dilontarkan Soekarno itulah, saya melihat, bahwa Ia tidak sekadar seorang nasionalis-religius, tetapi juga seorang pembaharu Islam di Indonesia. Salah seorang pembaharu Islam sebagaimana Ahmad Wahib, yang dikenal pemikiran-pemikirannya lewat catatan hariannya yang dibukukan oleh sahabatnya setelah ia meninggal; Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Juga sebagaimana Harun Nasution yang mentransfer ide-ide pembaharuannya lewat dunia akademik (IAIN), seperti memasukkan mata kuliah filsafat dan metodologi penelitian, yang sebelumnya tidak diajarkan. Juga lewat karyanya “Islam Rasional”.
Atau, bisa juga disamakan dengan Mukti Ali, yang mencoba membuka paradigma para kaum muda pada tahun 80-an lewat lembaga diskusi ‘limited group’ yang didirikannya. Dimana para aktifisnya, sampai kini terkenal sangat kritis dan progressif. Salah satu ‘alumninya’ adalah Ahmad Wahib sendiri, dan juga Djohan Effendi. Bahkan, Cak Nur (Nurcholish Majid) sebenarnya juga pernah aktif di limited group.
Yang jelas, sekali lagi, Soekarno adalah sosok yang tidak sekadar nasionalis-religius, tapi juga seorang pembaharu. Tinggal, bagaimana kini kita meneruskan dan memperjuangkan apa-apa yang telah dilontarkannya, dan tokoh pembaharu Islam lainnya.
Sumber: http://arrusyda.wordpress.com/2007/09/28/tidak-sekadar-nasionalis-religius-soekarno-juga-pembaharu-islam/
Menarik membaca tulisan Ibnu Djarir berjudul “Pandangan Bung Karno tentang Islam” (wawasan, 1/6/2004). Dalam artikel itu Ibnu Djarir menulis, Soekarno adalah seorang nasionalis tulen, yang memiliki begitu banyak pengagum, pendukung, dan (penganut fanatik) yang ingin meneruskan dan melaksanakan perjuangannya.
Proklamator dan Orator ulung itu, begitu dikenal tidak hanya oleh orang Indonesia, tetapi juga di belahan bumi lain. “… di Mekkah dan Madinah, hingga kini masyarakat arab lebih mengenal nama Ahmad Soekarno daripada nama pemimpin yang lain,” tulis Ibnu Djarir.
Ibnu Djarir, dalam tulisannya itu juga mengulas tentang bagaimana (seharusnya) Islam dalam pandangan soekarno, dan memaparkan ide-ide pokok yang disarankan Soekarno.
Tentang Nasionalisme
Soekarno memang tokoh yang unik dan sangat jenius. Ia juga terkenal sangat populis dan membenci yang namanya kapitalisme-kolonialisme-imperialisme. Ia belajar tentang nasionalisme, tidak hanya dari buku-buku yang banyak dibacanya. Namun, ide, semangat, dan rasa nasionalismenya juga muncul dari pergulatan dan perenungannya atas realitas yang menimpa rakyatnya pada waktu itu.
Marhaenisme, misalnya, adalah ide yang dikemukakan setelah ia bertemu dengan seorang petani miskin bernama Marhaen, yang akhirnya digunakan untuk menyebut ‘ajarannya’ sebagai sosialisme marhaenisme. Yaitu sosialisme yang berangkat dari realitas bangsa Indonesia sendiri, bukan sosialisme marxisme, yang menginginknan terwujudnya negara tanpa kelas.
Berbicara tentang ide nasionalisme Soekarno, banyak buku yang bisa menjelaskannya. Diantaranya kita dapat menemukan pada Lahirnya Pancasila dalam Mr. Soepardo DKK, Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia” (1962).
Namun, dalam mendefinisikan nasionalisme, ia banyak dipengaruhi oleh pendapat Renan, Otto Bauer, dan Ki Bagoes Hadikusumo atau Munandar. (Badri Yatim, 1985).
Renan berpendapat, nasionalisme yaitu kehendak akan bersatu, orang-orangnya merasa diri satu, dan mau bersatu. Otto beranggapan, bangsa adalah satu kesatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Sedang Ki Bagoes Hadikusumo atau Munandar berpendapat, nasionalisme adalah persatuan antara orang dan tempat.
Dari ketiga tokoh tersebut, akhirnya Soekarno membuat definisi tentang apa itu nasionalisme. Hingga, Ia sampai pada kesimpulan, nasionalisme itu terdiri dari rasa ingin bersatu, persatuan peranagi dan nasib, serta persatuan antara orang-orang dan tempat.
Bahkan, dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” (1965), ia tidak hanya mendefinisikan nasionalisme secara umum seperti dipahami oleh Renan, Otto dan Ki Bagoes Hadikusumo atau Munandar. Dalam salah satu ‘karya monumentalnya’ itu, ia bahkan mengemukakan tentang nasionalime islam.
“Di mana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu, ia masih menjadi satu bahagian daripada rakyat islam. Di mana-mana, disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya. Inilah nasionalisme Islam,” tulisnya.
Kalau mau memahami secara seksama dan mendalam, sebenarnya apa yang kemukakan Soekarno, tidak lebih adalah penggambaran dari kehidupan Rasulullah Muhammad Saw, pada waktu di Madinah, setelah Hijrah dari Makkah dan membentuk pemerintahan di negeri yang awalnya bernama Yatsrib itu. Di mana ditekankan dan diajarkan pada saat itu, semua merasa setiap orang islam adalah saudara, sehingga harus saling hidup berdampingan, bahu-membahu, dan tolong menolong dalam memajukan pemerintahan dan kemakmuran madinah. Laiknya satu tubuh, jika salah satu anggota badannya sakit, maka sakitlah seluruh badannya.
Tentang Islam
Soekarno memang tidak terdidik di lembaga pendidikan berbasis agama. Sewaktu belajar, ia lebih banyak bergelut dengan dunia keilmuan dan realitas sosial yang menindas, yang sangat menyesakkan dadanya, akibat penjajahan yang dilakukan Belanda. Ia sangat dekat dengan rakyat kecil. Bahkan, ketika masih belajar di ITB, ia terkenal sering mengunjungi pelosok-pelosok desa untuk mengetahui dan melihat secara langsung kehidupan rakyatnya yang sangat miskin dan tertindas.
Namun bukan berarti, ia nol dan tidak paham agama. Karena, seperti ditulis Ibnu Djarir, ia justru belajar agama pada tokoh-tokoh agama waktu itu; KH. Achmad Dahlan, HOS Cokroaminoto, KH. Mas Mansoer, dan KH. A. Hassan, disamping belajar sendiri dari buku-buku yang dibacanya.
Dalam pandangannya, Islam adalah agama duniawiyah dan rohaniyah sekaligus (Badri Yatim, 1985). Sehingga, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Islam sendiri mengajarkan agar kaum muslimin tidak menafikan kehidupan duniawi. Mendahulukan akhirat boleh dan sah-sah saja, tapi non nense mengabaikan dunia. Karena dunia adalah tempat menanam amal akhirat yang akan dipetik hasilnya kelak (ad-dunya mazra’atul akhirat).
Baginya, Islam adalah agama yang sempurna, yang memuat prinsip-prinsip keadilan, tolong menolong, persamaan hak (egaliter), dan persaudaraan.
Uniknya, Soekarno melihat Islam dari sisi dunia. Seperti ditulis Fachry Ali dalam pengantarnya di buku “Soekarno, Islam dan Nasionalisme” karya Badri Yatim. Soekarno melihat Islam dari sisi dunia. Dari realitas yang terjadi dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. “Salahkah Soekarno melihat islam dari sudut pandang dunia?”
Lebih lanjut Fachry menulis, salahkah Soekarno yang menjadi orang Jawa terlebih dahulu, dan berdasarkan itu ia melihat Islam?
Pembaharu
Ada banyak kritik yang dikemukakan Soekarno berkaitan dengan Islam, yang hingga kini, agaknya masih perlu dicermati dan ditindaklanjuti. Seperti ketika ia mengemukakan sebuah statemen, bahwa hadits tidak harus dijadikan dasar hukum. Karena banyak juga hadits-hadits yang diragukan kesahihannya alias hadits dlaif. Juga statemen yang mengatakan bahwa islam adalah agama duniawiyah dan rohaniyah sekaligus.
Apa yang dikemukakannya, adalah upaya untuk mengurai adanya dikotomi dunia-akhirat yang dipahami masyarakat selama ini. Bahwa dunia dan akhirat, tidaklah terpisah, tetapi saling melengkapi. Keduanya harus sama-sama diperjuangkan dan diraih; fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirah hasanah.
Baginya, Islam penuh dengan ide-ide perubahan. Karenanya, tidak heran jika umat Islam selama tujuh abad lamanya, mampu memegang kendali peradaban dunia, yaitu pada masa the glory of islam atau dikenal pula the golden age of islam. Karena itu, masa keemasan islam yang kini hilang itu, harus direbut kembali. Karena islam adalah agama perubahan dan kemajuan.
Seperti tertuang dalam salah satu suratnya yang dikirim kepada A. Hassan dari Endeh. “Islam is progress. Islam itu kemajuan. Begitulah telah saya tulis dalam surat saya yang terdahulu. Kemajuan karena fardlu, kemajuan karena sunnah, tetapi juga karena kemajuan, karena diluaskan dan dilapangkan oleh aturan jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui batas-batas zaman.”
Berangkat dari kritik dan ide-ide pembaharuan yang dilontarkan Soekarno itulah, saya melihat, bahwa Ia tidak sekadar seorang nasionalis-religius, tetapi juga seorang pembaharu Islam di Indonesia. Salah seorang pembaharu Islam sebagaimana Ahmad Wahib, yang dikenal pemikiran-pemikirannya lewat catatan hariannya yang dibukukan oleh sahabatnya setelah ia meninggal; Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Juga sebagaimana Harun Nasution yang mentransfer ide-ide pembaharuannya lewat dunia akademik (IAIN), seperti memasukkan mata kuliah filsafat dan metodologi penelitian, yang sebelumnya tidak diajarkan. Juga lewat karyanya “Islam Rasional”.
Atau, bisa juga disamakan dengan Mukti Ali, yang mencoba membuka paradigma para kaum muda pada tahun 80-an lewat lembaga diskusi ‘limited group’ yang didirikannya. Dimana para aktifisnya, sampai kini terkenal sangat kritis dan progressif. Salah satu ‘alumninya’ adalah Ahmad Wahib sendiri, dan juga Djohan Effendi. Bahkan, Cak Nur (Nurcholish Majid) sebenarnya juga pernah aktif di limited group.
Yang jelas, sekali lagi, Soekarno adalah sosok yang tidak sekadar nasionalis-religius, tapi juga seorang pembaharu. Tinggal, bagaimana kini kita meneruskan dan memperjuangkan apa-apa yang telah dilontarkannya, dan tokoh pembaharu Islam lainnya.
Sumber: http://arrusyda.wordpress.com/2007/09/28/tidak-sekadar-nasionalis-religius-soekarno-juga-pembaharu-islam/