Korupsi dan Budaya Patronase
Ketika Era Reformasi bergulir pada pertengahan tahun 1998 masyarakat Indonesia mulai akrab dengan akronim KKN kepanjangan dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Dalam tulisan Fiona Robertson-Snape juga dapat kita temukan bahwa salah satu permasalahan utama yang menjadi tuntutan dari gerakan reformasi di Indonesia adalah diberantasnya korupsi berikut kolusi dan nepotisme. Onghokham dalam tulisannya yang berjudul “Tradisi dan Korupsi” menjelaskan bahwa sistem patron klien yang digunakan dalam sistem birokrasi kita adalah pemicu terjadinya korupsi. Prestise merupakan hal yang sangat penting bagi patron agar selalu dijunjung oleh kliennya, selain itu patron juga harus menyediakan pekerjaan bagi klien yang biasanya adalah memiliki hubungan keluarga atau lebih sering disebut juga kroni.
John Laird yang menulis tentang Money Politics, Globalisation and Crisis: The Case of Thailand menjelaskan bahwa patron klien yang pada dasarnya merupakan upaya untuk membangun jaringan pengaruh mendatangkan banyak kerugian bagi bangsa dan Negara, karena patron klien berarti memberi uang dalam rangka mendapatkan kesempatan untuk memperoleh uang lebih banyak lagi melalui dukungan politik yang diberikan oleh pejabat. Menurut Laird, sistem patron klien membuka kesempatan bagi terjadinya korupsi, terutama ketika berkaitan dengan nepotisme yang kental dalam sistem birokrasi di negara ini. Korupsi pada dasarnya merupakan dampak tidak langsung yang harus dipikul oleh rakyat. Hal ini disebabkan karena inefisiensi dalam birokrasi administrasi Negara merupakan tindakan korupsi para pejabat atau pegawai. Inefisiensi dalam birokrasi dapat menimbulkan dan menyuburkan apatisme masyarakat pada umumnya serta militanisme pada ekstrimis oposan pemerintah yang berkuasa. Korupsi sudah dilakukan oleh orang Indonesia dari dulu dan tidak hanya dilakukan oleh pejabat dan pegawai negeri saja.
Terdapat lima bidang kegiatan yang dianggap sebagai sumber korupsi, yaitu proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang, bea dan cukai, perpajakan, pemberian izin usaha, serta pemberian fasilitas kredit. Dalam proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang, penyelewengan yang terjadi dapat menyangkut harga, kualitas dan komisi. Di bidang bea cukai, korupsi menyangkut manipulasi bea masuk barang dan penyelundupan administratif. Dalam perpajakan adalah menyangkut besarnya pajak, dalam perbankan dan izin usaha korupsi masuk kedalam bentuk komisi jasa dan pungutan liar. Pelaksanaan pembangunan nasional memang memerlukan biaya yang sangat besar dan dari tahun ke tahun berkembang dengan sangat pesat. Sedangkan aparat pengawasan dengan sistem pengawasan yang ada sulit untuk dapat mengikuti gerak pembangunan yang sedemikian pesat. Korupsi menjadi budaya yang terbangun dengan rapi dan sistemis dan sulit untuk dihilangkan.
Budaya Korupsi ini telah memporak-porandakan Indonesia. Sebab pelaku korupsi merampas uang negara yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan, biaya pendidikan, dan lain sebagainya. Suka atau tidak suka, budaya konsumtif masyarakat adalah salah satu penyebab maraknya korupsi di negeri ini. Saat ini, seseorang dihormati bukan dari tingkah laku dan prestasi melainkan dari pakaian dan penampilannya. Keserakahan manusia dan munculnya kesempatan menjadi pendorong terjadinya korupsi. Terkadang bahkan alasan untuk melakukan korupsi adalah tujuan untuk menggunakan uang (kekayaan) yang dikorup itu akan digunakan juga untuk memudahkan mendapatkan sesuatu jabatan atau fasilitas yang lebih penting lagi. Dalam tulisan bersama Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris yang berjudul Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, dikatakan bahwasanya korupsi adalah masalah dunia, tetapi di berbagai negara di dunia korupsi paling banyak dijumpai di tingkatan lokal, dalam pemerintah daerah. Dalam hal ini korupsi dapat dirumuskan sebagai : C = M + D – A Corruption (C) [korupsi] sama dengan monopoly power (M) [kekuasaan monopoli] ditambah discretion by officials (D) [wewenang pejabat] minus accountability (A) [akuntabilitas].
Korupsi jika dilihat dalam hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
Konsep patron klien tersebut merupakan bagian dari fakta sosial (realitas sosial) yang dapat dijelaskan dengan teori pertukaran sosial George Pascar Homans yang memandang perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas dan kepentingan yang dimiliki oleh masing- masing individu. Teori Homans ini berangkat dari asumsi ekonomi dasar (pilihan rasional), yaitu individu memberi apa dan mendapatkan apa, apakah menguntungkan atau tidak. Artinya jelas bahwa korupsi kemudian memang berangkat dari kepentingan akan pemenuhan kebutuhan setiap individu pelakunya. Struktur relasi sosial berkembang dalam kelompok kecil selama proses interaksi sosial antar anggotanya. Karena tidak terdapat relasi sosial langsung antar sebagian besar anggota komunitas besar atau seluruh masyarakat, beberapa mekanisme lain harus memerantarai struktur relasi sosial antar mereka. Dalam level yang lebih besar kita dapat melihat hal paling mendasar yang mempengaruhi pola tingkah laku individu dalam masyarakat, faktor yang merubah pola perilaku tersebut adalah sistem yang dikenalkan oleh patron kepada para klien. Sistem tersebut merujuk pada sebuah tatanan sosial yang berlandaskan kepentingan, yaitu uang sebagai puncak kepentingan mereka. Kegagalan upaya penanggulangan korupsi di Indonesia tidak terlepas dari budaya patronase yang terdapat dalam ruang lingkup masyarakat kita kebanyakan. Anggapan “lumrah” dan wajar menjadi penyebab utama dari korupsi. Kebiasaan untuk menggunakan “orang dalam” atau “uang pelicin” yang ada dalam pola pikir masyarakat Indonesia menjadikan kasus korupsi di negeri ini berkembang dengan sangat pesat seperti jamur di musim hujan. Korupsi memang menjadi masalah yang sangat sulit dipecahkan, selain karena terbatasnya akses untuk mencapai pusat kekuasaan yang melindungi praktek korupsi, juga karena kerahasiaan yang memang sangat terjaga antar masing-masing pihak yang melakukan tindakan korupsi. Dalam sistem yang korup dan buruk, korupsi hanya soal mudah dan memang ditolerir, atau bahkan kalau ada bagian dari sistem yang tidak korup maka akan dianggap menyimpang.
By : Febrio Robbano
date : Jumat, 1 Juni 2012
Sumber : http://febriorobbano.blogspot.com/search?updated-min=2012-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2013-01-01T00:00:00-08:00&max-results=7
John Laird yang menulis tentang Money Politics, Globalisation and Crisis: The Case of Thailand menjelaskan bahwa patron klien yang pada dasarnya merupakan upaya untuk membangun jaringan pengaruh mendatangkan banyak kerugian bagi bangsa dan Negara, karena patron klien berarti memberi uang dalam rangka mendapatkan kesempatan untuk memperoleh uang lebih banyak lagi melalui dukungan politik yang diberikan oleh pejabat. Menurut Laird, sistem patron klien membuka kesempatan bagi terjadinya korupsi, terutama ketika berkaitan dengan nepotisme yang kental dalam sistem birokrasi di negara ini. Korupsi pada dasarnya merupakan dampak tidak langsung yang harus dipikul oleh rakyat. Hal ini disebabkan karena inefisiensi dalam birokrasi administrasi Negara merupakan tindakan korupsi para pejabat atau pegawai. Inefisiensi dalam birokrasi dapat menimbulkan dan menyuburkan apatisme masyarakat pada umumnya serta militanisme pada ekstrimis oposan pemerintah yang berkuasa. Korupsi sudah dilakukan oleh orang Indonesia dari dulu dan tidak hanya dilakukan oleh pejabat dan pegawai negeri saja.
Terdapat lima bidang kegiatan yang dianggap sebagai sumber korupsi, yaitu proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang, bea dan cukai, perpajakan, pemberian izin usaha, serta pemberian fasilitas kredit. Dalam proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang, penyelewengan yang terjadi dapat menyangkut harga, kualitas dan komisi. Di bidang bea cukai, korupsi menyangkut manipulasi bea masuk barang dan penyelundupan administratif. Dalam perpajakan adalah menyangkut besarnya pajak, dalam perbankan dan izin usaha korupsi masuk kedalam bentuk komisi jasa dan pungutan liar. Pelaksanaan pembangunan nasional memang memerlukan biaya yang sangat besar dan dari tahun ke tahun berkembang dengan sangat pesat. Sedangkan aparat pengawasan dengan sistem pengawasan yang ada sulit untuk dapat mengikuti gerak pembangunan yang sedemikian pesat. Korupsi menjadi budaya yang terbangun dengan rapi dan sistemis dan sulit untuk dihilangkan.
Budaya Korupsi ini telah memporak-porandakan Indonesia. Sebab pelaku korupsi merampas uang negara yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan, biaya pendidikan, dan lain sebagainya. Suka atau tidak suka, budaya konsumtif masyarakat adalah salah satu penyebab maraknya korupsi di negeri ini. Saat ini, seseorang dihormati bukan dari tingkah laku dan prestasi melainkan dari pakaian dan penampilannya. Keserakahan manusia dan munculnya kesempatan menjadi pendorong terjadinya korupsi. Terkadang bahkan alasan untuk melakukan korupsi adalah tujuan untuk menggunakan uang (kekayaan) yang dikorup itu akan digunakan juga untuk memudahkan mendapatkan sesuatu jabatan atau fasilitas yang lebih penting lagi. Dalam tulisan bersama Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris yang berjudul Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, dikatakan bahwasanya korupsi adalah masalah dunia, tetapi di berbagai negara di dunia korupsi paling banyak dijumpai di tingkatan lokal, dalam pemerintah daerah. Dalam hal ini korupsi dapat dirumuskan sebagai : C = M + D – A Corruption (C) [korupsi] sama dengan monopoly power (M) [kekuasaan monopoli] ditambah discretion by officials (D) [wewenang pejabat] minus accountability (A) [akuntabilitas].
Korupsi jika dilihat dalam hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
Konsep patron klien tersebut merupakan bagian dari fakta sosial (realitas sosial) yang dapat dijelaskan dengan teori pertukaran sosial George Pascar Homans yang memandang perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas dan kepentingan yang dimiliki oleh masing- masing individu. Teori Homans ini berangkat dari asumsi ekonomi dasar (pilihan rasional), yaitu individu memberi apa dan mendapatkan apa, apakah menguntungkan atau tidak. Artinya jelas bahwa korupsi kemudian memang berangkat dari kepentingan akan pemenuhan kebutuhan setiap individu pelakunya. Struktur relasi sosial berkembang dalam kelompok kecil selama proses interaksi sosial antar anggotanya. Karena tidak terdapat relasi sosial langsung antar sebagian besar anggota komunitas besar atau seluruh masyarakat, beberapa mekanisme lain harus memerantarai struktur relasi sosial antar mereka. Dalam level yang lebih besar kita dapat melihat hal paling mendasar yang mempengaruhi pola tingkah laku individu dalam masyarakat, faktor yang merubah pola perilaku tersebut adalah sistem yang dikenalkan oleh patron kepada para klien. Sistem tersebut merujuk pada sebuah tatanan sosial yang berlandaskan kepentingan, yaitu uang sebagai puncak kepentingan mereka. Kegagalan upaya penanggulangan korupsi di Indonesia tidak terlepas dari budaya patronase yang terdapat dalam ruang lingkup masyarakat kita kebanyakan. Anggapan “lumrah” dan wajar menjadi penyebab utama dari korupsi. Kebiasaan untuk menggunakan “orang dalam” atau “uang pelicin” yang ada dalam pola pikir masyarakat Indonesia menjadikan kasus korupsi di negeri ini berkembang dengan sangat pesat seperti jamur di musim hujan. Korupsi memang menjadi masalah yang sangat sulit dipecahkan, selain karena terbatasnya akses untuk mencapai pusat kekuasaan yang melindungi praktek korupsi, juga karena kerahasiaan yang memang sangat terjaga antar masing-masing pihak yang melakukan tindakan korupsi. Dalam sistem yang korup dan buruk, korupsi hanya soal mudah dan memang ditolerir, atau bahkan kalau ada bagian dari sistem yang tidak korup maka akan dianggap menyimpang.
By : Febrio Robbano
date : Jumat, 1 Juni 2012
Sumber : http://febriorobbano.blogspot.com/search?updated-min=2012-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2013-01-01T00:00:00-08:00&max-results=7