Ketuhanan dalam Pemikiran Soekarno IV:
Negara berTuhan
“Ketuhanan” Dalam Pemikiran Soekarno
Beberapa catatan tentang Ketuhanan dalam Pidato Pancasila 1 Juni 1945
Oleh:
Paulus Londo
Disampaikan pada:
Diskusi Bulanan "Revitalisasi Pemikiran Soekarno, Pancasila - Sila I: Ketuhanan YME"
Kuatnya dimensi ketuhanan di dalam pemikiran Soekarno sebagaimana tercermin di dalam Pidato 1 Juni 1945 antara lain terlihat pada konsep “negara bertuhan” sebagai pengembangan perikehidupan masyarakat Indonesia di dalam kehidupan berbansa dan bernegara. Dalam pidato itu Soekarno berkata:
“ .... Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama.” Dan hendaknya negara Indonesia suatu Negara yang ber-Tuhan.
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara berkeadaban . Apakah cara yang berkeadaban itu ? Ialah hormat menghormati satu sama lain. (tepuk tangan sebagian hadirin).
Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita didalam Indonesia merdeka yang kita susun ini --sesuai dengan itu—menyatakan bahwa prinsip kelima dari negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan. Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa !
Disinilah, dalam pengakuan azas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang mendapat tempat sebaik-baiknya. Dan negara kita ber-Tuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga –permufakatan, perwakilan—disitulah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam yaitu dengan cara yang berkebudayaan (Pidato 1 Juni 1945)
Bagi Soekarno, negara berketuhanan adalah konsekuensi logis dari perikehidupan masyarakat Indonesia yang bertuhan. Atas dasar ketuhanan, diyakni bahwa segala sesuatu yang terjadi di atas bumi adalah kehendak Tuhan. Karena itu, dalam menjelaskan Prinsip Kelima yakni Ketuhanan, Soekarno memberi penekanan terhadap dua hal, yakni:
Pertama, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang absolut berlaku di semua aspek dan dimensi kehidupan, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
Kedua, relasi hubungan antar pemeluk agama dalam masyarakat yang beraneka ragam.
Negara sebagai instititusi yang menaungi segenap bangsa Indonesia mesti memberikan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi warga negara agar dapat menyembah Tuhan dan menjalankan agamanya dengan leluasa. Relasi antar pemeluk agama didasarkan pada toleransi, tanpa egoisme agama, keluhuran budi, yakni dengan cara yang berbudaya. Hal ini oleh Soekarno disebut sebagai “Ketuhanan Berkebudayaan,” artinya kehidupan spiritual yang berkembang maju seirama dengan perkembangan kebudayaan.
Setiap pemeluk agama dapat memperjuangkan aspirasi keagamaannya, tapi dengan cara berbudaya, yakni dengan cara permufakatan melalui badan perwakilan. Pengamalan prinsip negara betuhan, dan ketuhanan berkebudayaan, tentu hanya bisa terwujud jika sungguh-sungguh juga mengamalkan sila-sila lain dari Pancasila.
Manusia yang menanamkan nilai-nilai Ketuhanan berkebudayaan dalam dirinya, senantiasa akan mengedepankan nilai kemanusiaan. Dari kemanusiaan maka lahirlah hukum-hukum yang adil dan beradab, sebagai dasar terciptanya keadilan sosial. Dengan tatanan itu maka manusia dapat bersatu sebagai satu bangsa yang hidup di dalam negara sebagai sarana perjuangan menuju terbentuknya peradaban baru, Indonesia Baru, dimana manusia yang jumlahnya terdiri ratusan suku, beratus-ratus bahasa dilebur menjadi Manusia Indonesia
Beberapa catatan tentang Ketuhanan dalam Pidato Pancasila 1 Juni 1945
Oleh:
Paulus Londo
Disampaikan pada:
Diskusi Bulanan "Revitalisasi Pemikiran Soekarno, Pancasila - Sila I: Ketuhanan YME"
Kuatnya dimensi ketuhanan di dalam pemikiran Soekarno sebagaimana tercermin di dalam Pidato 1 Juni 1945 antara lain terlihat pada konsep “negara bertuhan” sebagai pengembangan perikehidupan masyarakat Indonesia di dalam kehidupan berbansa dan bernegara. Dalam pidato itu Soekarno berkata:
“ .... Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama.” Dan hendaknya negara Indonesia suatu Negara yang ber-Tuhan.
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara berkeadaban . Apakah cara yang berkeadaban itu ? Ialah hormat menghormati satu sama lain. (tepuk tangan sebagian hadirin).
Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita didalam Indonesia merdeka yang kita susun ini --sesuai dengan itu—menyatakan bahwa prinsip kelima dari negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan. Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa !
Disinilah, dalam pengakuan azas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang mendapat tempat sebaik-baiknya. Dan negara kita ber-Tuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga –permufakatan, perwakilan—disitulah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam yaitu dengan cara yang berkebudayaan (Pidato 1 Juni 1945)
Bagi Soekarno, negara berketuhanan adalah konsekuensi logis dari perikehidupan masyarakat Indonesia yang bertuhan. Atas dasar ketuhanan, diyakni bahwa segala sesuatu yang terjadi di atas bumi adalah kehendak Tuhan. Karena itu, dalam menjelaskan Prinsip Kelima yakni Ketuhanan, Soekarno memberi penekanan terhadap dua hal, yakni:
Pertama, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang absolut berlaku di semua aspek dan dimensi kehidupan, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
Kedua, relasi hubungan antar pemeluk agama dalam masyarakat yang beraneka ragam.
Negara sebagai instititusi yang menaungi segenap bangsa Indonesia mesti memberikan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi warga negara agar dapat menyembah Tuhan dan menjalankan agamanya dengan leluasa. Relasi antar pemeluk agama didasarkan pada toleransi, tanpa egoisme agama, keluhuran budi, yakni dengan cara yang berbudaya. Hal ini oleh Soekarno disebut sebagai “Ketuhanan Berkebudayaan,” artinya kehidupan spiritual yang berkembang maju seirama dengan perkembangan kebudayaan.
Setiap pemeluk agama dapat memperjuangkan aspirasi keagamaannya, tapi dengan cara berbudaya, yakni dengan cara permufakatan melalui badan perwakilan. Pengamalan prinsip negara betuhan, dan ketuhanan berkebudayaan, tentu hanya bisa terwujud jika sungguh-sungguh juga mengamalkan sila-sila lain dari Pancasila.
Manusia yang menanamkan nilai-nilai Ketuhanan berkebudayaan dalam dirinya, senantiasa akan mengedepankan nilai kemanusiaan. Dari kemanusiaan maka lahirlah hukum-hukum yang adil dan beradab, sebagai dasar terciptanya keadilan sosial. Dengan tatanan itu maka manusia dapat bersatu sebagai satu bangsa yang hidup di dalam negara sebagai sarana perjuangan menuju terbentuknya peradaban baru, Indonesia Baru, dimana manusia yang jumlahnya terdiri ratusan suku, beratus-ratus bahasa dilebur menjadi Manusia Indonesia