Ketuhanan dalam Pemikiran Soekarno VI:
Pengembaraan Pemikiran Soekarno
“Ketuhanan” Dalam Pemikiran Soekarno
Beberapa catatan tentang Ketuhanan dalam Pidato Lahir Pancasila 1 Juni 1945
Oleh:
Paulus Londo
Disampaikan pada:
Diskusi Bulanan "Revitalisasi Pemikiran Soekarno, Pancasila - Sila I: Ketuhanan YME"
Menurut Soekarno, prinsip Ketuhanan (salah satu sila dari Pancasila) digali dari perikehidupan masyarakat Indonesia, dan dengan keyakinannya itu, ia lebih memilih Indonesia sebagai negara nasional bukan negara berlandaskan agama. Untuk memahami hal ini, tentu perlu mengetahui alur pemikiran Soekarno, khususnya mengenai soal Ketuhanan.
Seperti diakuinya kepercayaannya akan eksistensi Tuhan sudah tertanam di dalam dirinya sejak kecil. “Kami adalah bangsa yang hidup dari pertanian, dan siapakah yang menumbuhkan segala sesuatu ? Al Khalik, Yang Maha Pencipta. Kami terima ini sebagai kenyataan hidup. Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan sejak lahir, dan keyakinan ini telah bersenyawa dengan diriku,” (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat halaman 151).
Soekarno memang mendapat pelajaran agama secara khusus, sehingga pemahamannya tentang ketuhanan lebih bersifat empiris, yang diserapnya bersama dengan berbagai nilai kehidupan yang ditanamkan kepadanya. Seperti diketahui, Soekarno lahir dari seorang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai, penganut Hindu puteri seorang Brahmana dari Kerajaan Singaraja (Buleleng) Bali. Dari ibunya itu, ia menyerap Hinduisme dan Budhaisme. Namun yang paling berkesan dari ibunya adalah, sikap anti penjajahan (Belanda) akibat pengalaman traumatik oleh penaklukan Belanda atas Kerajaan Buleleng yang membuat keluarga ibunya menderita.
Dari kakek-neneknya, ia menyerap kebudayaan Jawa dan mistik, dan dari ayahnya. R Sukemi Sosrodihardjo belajar Islam (Jawa) dan teosofi. Sedangkan Sarinah, pengasuhnya menanamkan cinta kepada sesama (humanisme).
Pemahamannya tentang Islam baru berkembang setelah bersekolah di HBS HBS (Hoogore Burger School) Surabaya, saat ini indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, Ketua Serikat Islam. Tetapi, ia peroleh bersama HOS Tjokroaminoto bukan pengetahuan agama yang bersifat dogmatis teologis, melainkan pemikiran-pemikiran Islam yang berhubungan dengan paham kebangsaan dan sosialisme. Jadi lebih berhubungan masalah sosiologi politik. Meski memimpin organisasi Serikat Islam, HOS Tjokroaminoto memang bukan seorang “guru agama” tapi pemimpin pergerakan kebangsaan yang dikemas dengan identitas Islam. Tapi, Soekarno juga menyerap ide-ide pembaruan dalam Islam yang diusung oleh Gerakan Muhamadiyah ia peroleh melalui ceramah-ceramah K H Ahmad Dahlan. “Sejak umur 15 tahun, saat berdiam di rumah Tjokroaminoto, saya telah terpukau dengan K H Ahmad Dahlan,” kata Soekarno. Tahun 1938, ia jadi anggota resmi Muhammadiyah. Bahkan di depan Muktamar Muhamadiyah tahun 1962, ia berdoa agar bisa dikubur dengan nama Muhamadiyah di kain kafannya.
Pada saat bersamaan Soekarno juga berkenalan dengan pemikiran-pemikiran sosialisme (Marxisme) dari Alimin, Muso, Semaun, Darsono serta tokoh-tokoh Sosialis Eropa misalnya Hendrik Sneevliet (orang Belanda yang dikenal dengan sebutan Maring dan ia merupakan wakil komintern di Cina), Adolp Baars, Reeser juga Hartogh.
Lalu, saat kuliah di THS Bandung, ia berkenalan dengan para tokoh Indische Partij, khususnya Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker yang jadi idolanya. Dua tokoh ini memberikan pemahaman tentang nasionalisme, pluralisme dalam wajah yang lebih radikal. Sedangkan interaksinya dengan tokoh-tokoh Persatuan Islam (Persis), khususnya Ahmad Hasan juga merangsang minatnya memahami Islam secara lebih mendalam.
Pertemanannya dengan A Hasan kian akrab saat Soekarno masuk penjara dan kemudian dibuang ke Ende Flores. Melalui hubungan surat menyurat ia mendiskusikan berbagai masalah keagamaan (Islam). Yang ia gandrungi adalah pemikiran yang berhubungan dengan modernisasi kehidupan keberagamaan. Karena itu salah satu sumber referensinya adalah kitab-kitab dari Ahmadiyah, meski ia menolak anggapan bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi serta sikap Ahmadiyah yang terlalu mengkultuskan Inggris.
Dalam tulisan “Surat-Surat dari Endeh,” terlihat adanya keyakinan kuat dalam diri Soekarno terhadap eksistensi Tuhan. Ia percaya agama dapat berfungsi sebagai enerji menuju kemajuan. Tapi sebaliknya, ia mengeritik kehidupan keberagamaan yang jadi penghambat kemajuan di masyarakat. Menurut Soekarno, itu terjadi karena nilai-nilai ajaran agama, telah disimpangkan oleh para pemuka dan jemaahnya dengan mengatasnamakan agama. Kehidupan keberagamaan (Islam) yang menyimpang akibat lebih mengagungkan fiqh atau fikih, yan ia sebut Islam Sontoloyo.
Karena itu, ia senantiasa menganjurkan agar ada ijtihad untuk mengeksplorasi nilai-nilai Islam langsung dari sumbernya yakni Qur,an dan Hadist. Tapi ijitihad itu harus berorientasi kepada kemajuan. Bukan seperti Wahabi yang menghendaki pemurnian agama tapi terlalu mengagung-agungkan masa lalu. “Masa lalu memang indah tapi ia sudah mati,” kata Soekarno.
Soekarno juga menganjurkan agar dilakukan pengujian terhadap sumber-sumber yang jadi pegangan dalam beragama
“Saya ingin sekali membaca lain-lain buah pena saudara… Saya perlu kepada Bukhari dan Muslim itu, karena di situlah dihimpunkan hadis-hadis yang dinamakan sahih. Padahal saya membaca keterangan dari salah seorang pengenal Islam bangsa Inggris, bahwa Bukharipun masih terselip hadis-hadis yang lemah. Diapun, menerangkan bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, ketakhayulan orang Islam, banyaklah karena hadis-hadis lemah itu, yang lebih sering ”laku” daripada ayat-ayat Al-Quran . . .” (Surat-Surat Dari Ende di dalam DBR Jilid I)
Dengan melihat sejarah, khususnya pasang surut dan pasang naik kekuatan Islam, Soekarno memandang perlu pemisahan urusan negara dengan urusan agama. Dengan pemisahan urusan itu, negara dapat mendorong kehidupan keberagamaan yang dinamis. Disatu pihak kehidupan beragama bisa diatur dan disusun agar tidak merusak persatuan bangsa, kehidupan beragama mesti menjamin kesetaraan antar sesama manusia, ia tidak boleh menjadi alat penindas sesama, tetap berpihak kepada kepentingan masyarakat luas dan mampu mewujudkan keadilan bagi semua.
Dalam tulisannya berjudul “ Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dengan Negara” yang terbit di tahun 1940 terkait dengan keputusan Kemal Attaturk di Turki), Sukarno berpandangan bahwa agama adalah aturan-aturan spiritual, sedangkan negara merupakan urusan duniawi. Ia pun mengutip Halide Edib Hanoum, bahwa:
“. . . Agama itu perlu dimerdekakan dari asuhannya supaya menjadi subur. Kalau Islam terancam bahaya pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus pemerintah tetapi justru diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintahan. Hal ini adalah suatu halangan besar sekali buat kesuburan Islam di Turki dan bukan saja di Turki, tetapi di mana-mana saja, karena pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ menjadikan ia satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan.” (lihat DBR Jilid I)
Pemisahan urusan agama dengan urusan negara ini kembali dipertegas oleh Presiden Soekarno saat berpidato di Amuntai dan juga pada beberapa forum lainnya.
Dengan mempelajari dan mendalam “alam pikir” dari setiap paham itu, Sukarno pun berkata : “Saya bukan seorang nasionalis. Saya bukan seorang religius. Saya bukan seorang sosialis. Saya adalah saripati dari ketiganya.”
Beberapa catatan tentang Ketuhanan dalam Pidato Lahir Pancasila 1 Juni 1945
Oleh:
Paulus Londo
Disampaikan pada:
Diskusi Bulanan "Revitalisasi Pemikiran Soekarno, Pancasila - Sila I: Ketuhanan YME"
Menurut Soekarno, prinsip Ketuhanan (salah satu sila dari Pancasila) digali dari perikehidupan masyarakat Indonesia, dan dengan keyakinannya itu, ia lebih memilih Indonesia sebagai negara nasional bukan negara berlandaskan agama. Untuk memahami hal ini, tentu perlu mengetahui alur pemikiran Soekarno, khususnya mengenai soal Ketuhanan.
Seperti diakuinya kepercayaannya akan eksistensi Tuhan sudah tertanam di dalam dirinya sejak kecil. “Kami adalah bangsa yang hidup dari pertanian, dan siapakah yang menumbuhkan segala sesuatu ? Al Khalik, Yang Maha Pencipta. Kami terima ini sebagai kenyataan hidup. Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan sejak lahir, dan keyakinan ini telah bersenyawa dengan diriku,” (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat halaman 151).
Soekarno memang mendapat pelajaran agama secara khusus, sehingga pemahamannya tentang ketuhanan lebih bersifat empiris, yang diserapnya bersama dengan berbagai nilai kehidupan yang ditanamkan kepadanya. Seperti diketahui, Soekarno lahir dari seorang ibu, Ida Ayu Nyoman Rai, penganut Hindu puteri seorang Brahmana dari Kerajaan Singaraja (Buleleng) Bali. Dari ibunya itu, ia menyerap Hinduisme dan Budhaisme. Namun yang paling berkesan dari ibunya adalah, sikap anti penjajahan (Belanda) akibat pengalaman traumatik oleh penaklukan Belanda atas Kerajaan Buleleng yang membuat keluarga ibunya menderita.
Dari kakek-neneknya, ia menyerap kebudayaan Jawa dan mistik, dan dari ayahnya. R Sukemi Sosrodihardjo belajar Islam (Jawa) dan teosofi. Sedangkan Sarinah, pengasuhnya menanamkan cinta kepada sesama (humanisme).
Pemahamannya tentang Islam baru berkembang setelah bersekolah di HBS HBS (Hoogore Burger School) Surabaya, saat ini indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, Ketua Serikat Islam. Tetapi, ia peroleh bersama HOS Tjokroaminoto bukan pengetahuan agama yang bersifat dogmatis teologis, melainkan pemikiran-pemikiran Islam yang berhubungan dengan paham kebangsaan dan sosialisme. Jadi lebih berhubungan masalah sosiologi politik. Meski memimpin organisasi Serikat Islam, HOS Tjokroaminoto memang bukan seorang “guru agama” tapi pemimpin pergerakan kebangsaan yang dikemas dengan identitas Islam. Tapi, Soekarno juga menyerap ide-ide pembaruan dalam Islam yang diusung oleh Gerakan Muhamadiyah ia peroleh melalui ceramah-ceramah K H Ahmad Dahlan. “Sejak umur 15 tahun, saat berdiam di rumah Tjokroaminoto, saya telah terpukau dengan K H Ahmad Dahlan,” kata Soekarno. Tahun 1938, ia jadi anggota resmi Muhammadiyah. Bahkan di depan Muktamar Muhamadiyah tahun 1962, ia berdoa agar bisa dikubur dengan nama Muhamadiyah di kain kafannya.
Pada saat bersamaan Soekarno juga berkenalan dengan pemikiran-pemikiran sosialisme (Marxisme) dari Alimin, Muso, Semaun, Darsono serta tokoh-tokoh Sosialis Eropa misalnya Hendrik Sneevliet (orang Belanda yang dikenal dengan sebutan Maring dan ia merupakan wakil komintern di Cina), Adolp Baars, Reeser juga Hartogh.
Lalu, saat kuliah di THS Bandung, ia berkenalan dengan para tokoh Indische Partij, khususnya Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker yang jadi idolanya. Dua tokoh ini memberikan pemahaman tentang nasionalisme, pluralisme dalam wajah yang lebih radikal. Sedangkan interaksinya dengan tokoh-tokoh Persatuan Islam (Persis), khususnya Ahmad Hasan juga merangsang minatnya memahami Islam secara lebih mendalam.
Pertemanannya dengan A Hasan kian akrab saat Soekarno masuk penjara dan kemudian dibuang ke Ende Flores. Melalui hubungan surat menyurat ia mendiskusikan berbagai masalah keagamaan (Islam). Yang ia gandrungi adalah pemikiran yang berhubungan dengan modernisasi kehidupan keberagamaan. Karena itu salah satu sumber referensinya adalah kitab-kitab dari Ahmadiyah, meski ia menolak anggapan bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi serta sikap Ahmadiyah yang terlalu mengkultuskan Inggris.
Dalam tulisan “Surat-Surat dari Endeh,” terlihat adanya keyakinan kuat dalam diri Soekarno terhadap eksistensi Tuhan. Ia percaya agama dapat berfungsi sebagai enerji menuju kemajuan. Tapi sebaliknya, ia mengeritik kehidupan keberagamaan yang jadi penghambat kemajuan di masyarakat. Menurut Soekarno, itu terjadi karena nilai-nilai ajaran agama, telah disimpangkan oleh para pemuka dan jemaahnya dengan mengatasnamakan agama. Kehidupan keberagamaan (Islam) yang menyimpang akibat lebih mengagungkan fiqh atau fikih, yan ia sebut Islam Sontoloyo.
Karena itu, ia senantiasa menganjurkan agar ada ijtihad untuk mengeksplorasi nilai-nilai Islam langsung dari sumbernya yakni Qur,an dan Hadist. Tapi ijitihad itu harus berorientasi kepada kemajuan. Bukan seperti Wahabi yang menghendaki pemurnian agama tapi terlalu mengagung-agungkan masa lalu. “Masa lalu memang indah tapi ia sudah mati,” kata Soekarno.
Soekarno juga menganjurkan agar dilakukan pengujian terhadap sumber-sumber yang jadi pegangan dalam beragama
“Saya ingin sekali membaca lain-lain buah pena saudara… Saya perlu kepada Bukhari dan Muslim itu, karena di situlah dihimpunkan hadis-hadis yang dinamakan sahih. Padahal saya membaca keterangan dari salah seorang pengenal Islam bangsa Inggris, bahwa Bukharipun masih terselip hadis-hadis yang lemah. Diapun, menerangkan bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, ketakhayulan orang Islam, banyaklah karena hadis-hadis lemah itu, yang lebih sering ”laku” daripada ayat-ayat Al-Quran . . .” (Surat-Surat Dari Ende di dalam DBR Jilid I)
Dengan melihat sejarah, khususnya pasang surut dan pasang naik kekuatan Islam, Soekarno memandang perlu pemisahan urusan negara dengan urusan agama. Dengan pemisahan urusan itu, negara dapat mendorong kehidupan keberagamaan yang dinamis. Disatu pihak kehidupan beragama bisa diatur dan disusun agar tidak merusak persatuan bangsa, kehidupan beragama mesti menjamin kesetaraan antar sesama manusia, ia tidak boleh menjadi alat penindas sesama, tetap berpihak kepada kepentingan masyarakat luas dan mampu mewujudkan keadilan bagi semua.
Dalam tulisannya berjudul “ Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dengan Negara” yang terbit di tahun 1940 terkait dengan keputusan Kemal Attaturk di Turki), Sukarno berpandangan bahwa agama adalah aturan-aturan spiritual, sedangkan negara merupakan urusan duniawi. Ia pun mengutip Halide Edib Hanoum, bahwa:
“. . . Agama itu perlu dimerdekakan dari asuhannya supaya menjadi subur. Kalau Islam terancam bahaya pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus pemerintah tetapi justru diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintahan. Hal ini adalah suatu halangan besar sekali buat kesuburan Islam di Turki dan bukan saja di Turki, tetapi di mana-mana saja, karena pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ menjadikan ia satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan.” (lihat DBR Jilid I)
Pemisahan urusan agama dengan urusan negara ini kembali dipertegas oleh Presiden Soekarno saat berpidato di Amuntai dan juga pada beberapa forum lainnya.
Dengan mempelajari dan mendalam “alam pikir” dari setiap paham itu, Sukarno pun berkata : “Saya bukan seorang nasionalis. Saya bukan seorang religius. Saya bukan seorang sosialis. Saya adalah saripati dari ketiganya.”