Ketuhanan dalam Pemikiran Soekarno V:
Problema Saat Ini
“Ketuhanan” Dalam Pemikiran Soekarno
Beberapa catatan tentang Ketuhanan dalam Pidato Lahir Pancasila 1 Juni 1945
Oleh:
Paulus Londo
Disampaikan pada:
Diskusi Bulanan "Revitalisasi Pemikiran Soekarno, Pancasila - Sila I: Ketuhanan YME"
Prinsip negara Bertuhan dan Ketuhanan Berkebudayaan sesungguhnya menjadi dasar moral bagi bangsa Indonesia, baik dalam hidup berkebangsaan mau pun dalam bernegara. Karena itu, ia harus tetap dijaga dan dikembangkan secara kreatif agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Soekarno, menegaskan bahwa Pancasila memang digali dari kenyataan hidup masyarakat Indonesia. Artinya, ia berada dialam nyata dan senantiasa dapat dipergunakan sebagai acuan sekaligus parameter dalam penyelenggaraan kehidupan kebangsaaan dan kenegaraan.
Tapi, sepanjang masa Orde Baru Pancasila mengalami pengkramatan yang luar biasa. Ia dipandang sebagai sesuatu yang sakti berbau magis, sehingga menjauh dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam hidup berketuhanan misalnya, yang kerap terjadi adalah reduksi pemaknaan, yakni sebatas diukur dengan semaraknya ritual keagamaan. Bahkan perikemanusiaan kian kehilangan makna teologis ketika pelanggaran atas hak-hak azasi manusia menjadi sesuatu yang lazim. Sementara kedaulatan rakyat dipersempit menjadi kedaulatan segelintir elite belaka. Belakangan, prinsip musyawarah untuk mufakat kian tersingkir seiring dengan dominasi melalui kompetisi politik kian diniscayakan.
Sebagian orang pun berkilah, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Karena itu suara mayoritas bisa dimaknai pula sebagai suara tuhan. Lantas bagaimana memaknai “Mayoritas sebagai Tuhan,” jika dikaitkan dengan Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ?
Bagi Soekarno, negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah wujud tauhid fungsional. Pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa mesti dapat jadi sumber energi pendorong terwujudnya persatuan nasional. Sebab sesungguhnya warga bangsa yang bertuhan ini berada pada jalan yang sama dalam emanifestikan nilai-nilai dan atribut-atribut ketuhanan (divine values and attributes). Sesama pemeluk agama memiliki space yang sama untuk menyemai kebajikan-kebajikan ketuhanan dalam kehidupan kebangsaan Indonesia.
Dalam menapak tilasi pemikiran Soekarno sebagai Bapak Bangsa, saat ini tentu muncul rasa penyesalan menyaksikan situasi keberagamaan kontemporer. Para pemeluk agama lebih sibuk mengurusi teologi dan bahkan saling mempertengkarkan ritus pemeluk agama lainnya, akibatnya jangankan bisa bersatu memerangi musuh kemanusiaan yang hakiki yakni tiran-tiran yang merintangi perwujudan filosofi penciptaan makhluk. Pemuka agama di suatu daerah lebih sering berfokus mengupayakan agar pemeluk agama berbeda memeluk agamanya, dari pada berjuang agar kekayaan alam yang diciptakan Tuhan di daerah itu betul-betul diperuntukkan bagi kesejahteraan manusianya.
Kealpaan bangsa ini menggali dan memperkaya nilai-nilai Pancasila, tampaknya telah membuat bangsa ini berjalan tanpa arah. Realita faktual menunjukkan, bahwa saat ini, semangat kesukuan/kedaerahan dan keagamaan kian menguat. Bersamaan dengan itu, kehidupan sosial, politik, ekonomi cenderung kehilangan akar teologisnya.
Karena itu, menyegarkan kembali semangat atas dasar nilai-nilai Pancasila menjadi kewajiban kita semua. Ia harus dikembalikan lagi pada arena kehidupan nyata agar berfungsi efektif sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Beberapa catatan tentang Ketuhanan dalam Pidato Lahir Pancasila 1 Juni 1945
Oleh:
Paulus Londo
Disampaikan pada:
Diskusi Bulanan "Revitalisasi Pemikiran Soekarno, Pancasila - Sila I: Ketuhanan YME"
Prinsip negara Bertuhan dan Ketuhanan Berkebudayaan sesungguhnya menjadi dasar moral bagi bangsa Indonesia, baik dalam hidup berkebangsaan mau pun dalam bernegara. Karena itu, ia harus tetap dijaga dan dikembangkan secara kreatif agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Soekarno, menegaskan bahwa Pancasila memang digali dari kenyataan hidup masyarakat Indonesia. Artinya, ia berada dialam nyata dan senantiasa dapat dipergunakan sebagai acuan sekaligus parameter dalam penyelenggaraan kehidupan kebangsaaan dan kenegaraan.
Tapi, sepanjang masa Orde Baru Pancasila mengalami pengkramatan yang luar biasa. Ia dipandang sebagai sesuatu yang sakti berbau magis, sehingga menjauh dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam hidup berketuhanan misalnya, yang kerap terjadi adalah reduksi pemaknaan, yakni sebatas diukur dengan semaraknya ritual keagamaan. Bahkan perikemanusiaan kian kehilangan makna teologis ketika pelanggaran atas hak-hak azasi manusia menjadi sesuatu yang lazim. Sementara kedaulatan rakyat dipersempit menjadi kedaulatan segelintir elite belaka. Belakangan, prinsip musyawarah untuk mufakat kian tersingkir seiring dengan dominasi melalui kompetisi politik kian diniscayakan.
Sebagian orang pun berkilah, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Karena itu suara mayoritas bisa dimaknai pula sebagai suara tuhan. Lantas bagaimana memaknai “Mayoritas sebagai Tuhan,” jika dikaitkan dengan Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ?
Bagi Soekarno, negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah wujud tauhid fungsional. Pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa mesti dapat jadi sumber energi pendorong terwujudnya persatuan nasional. Sebab sesungguhnya warga bangsa yang bertuhan ini berada pada jalan yang sama dalam emanifestikan nilai-nilai dan atribut-atribut ketuhanan (divine values and attributes). Sesama pemeluk agama memiliki space yang sama untuk menyemai kebajikan-kebajikan ketuhanan dalam kehidupan kebangsaan Indonesia.
Dalam menapak tilasi pemikiran Soekarno sebagai Bapak Bangsa, saat ini tentu muncul rasa penyesalan menyaksikan situasi keberagamaan kontemporer. Para pemeluk agama lebih sibuk mengurusi teologi dan bahkan saling mempertengkarkan ritus pemeluk agama lainnya, akibatnya jangankan bisa bersatu memerangi musuh kemanusiaan yang hakiki yakni tiran-tiran yang merintangi perwujudan filosofi penciptaan makhluk. Pemuka agama di suatu daerah lebih sering berfokus mengupayakan agar pemeluk agama berbeda memeluk agamanya, dari pada berjuang agar kekayaan alam yang diciptakan Tuhan di daerah itu betul-betul diperuntukkan bagi kesejahteraan manusianya.
Kealpaan bangsa ini menggali dan memperkaya nilai-nilai Pancasila, tampaknya telah membuat bangsa ini berjalan tanpa arah. Realita faktual menunjukkan, bahwa saat ini, semangat kesukuan/kedaerahan dan keagamaan kian menguat. Bersamaan dengan itu, kehidupan sosial, politik, ekonomi cenderung kehilangan akar teologisnya.
Karena itu, menyegarkan kembali semangat atas dasar nilai-nilai Pancasila menjadi kewajiban kita semua. Ia harus dikembalikan lagi pada arena kehidupan nyata agar berfungsi efektif sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.