Ketuhanan dalam Pemikiran Soekarno II
Ketuhanan dalam Pikiran Soekarno
“Ketuhanan” Dalam Pemikiran Soekarno
Beberapa catatan tentang Ketuhanan dalam Pidato Lahir Pancasila 1 Juni 1945
Oleh:
Paulus Londo
Disampaikan pada:
Diskusi Bulanan "Revitalisasi Pemikiran Soekarno, Pancasila - Sila I: Ketuhanan YME"
Terkait Pidato 1 Juni 1945, maka satu hal yang kerap dipertanyakan oleh berbagai pihak adalah penempatan “Prinsip Ketuhanan” pada urutan terakhir, sementara prinsip Kebangsaan pada urutan pertama. Oleh karena itu beberapa kalangan menilai Soekarno seorang nasionalis sekularis, setidaknya jika menggunakan alur logika barat. Tetapi, penilaian seperti ini kerap terbantahkan jika melihat alur pemikiran Soekarno di berbagai tulisan dan pidatonya, yang sesungguhnya sarat dengan nilai-nilai keimanan (tauhid).
Pada tulisannya berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,” dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, terlihat dengan jelas upaya Soekarno mempertemukan aliran pemikiran yang oleh banyak kalangan mustahil dapat dipertemukan seraya menempatkannya dalam perspektif keimanan. Yakni dengan melihat esensi dan makna yang lebih tinggi atau hogere optrekking dari masing-masing paham itu. Dalam tulisan yang diterbitkan oleh Suluh Indonesia Muda (1926) Sukarno mengatakan:
“…nasionalisme di dalam kelebaran dan keluasannya mengasih tempat cinta pada lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup … nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam roh’ …”
Lalu, mengapa pada Pidato 1 Juni 1945, Prinsip Ketuhanan diuraikan paling terakhir ? Jawabannya bisa beragam. Tapi jika dikaitkan dengan konteks pidato tersebut, maka penempatan Prinsip Kebangsaan pada urutan pertama, tidak semata-mata pertimbangan teknis untuk memberikan jawaban to the point terhadap pertanyaan Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat, tentang prinsip utama yang jadi fondasi bagi negara yang akan dibangun, tetapi sekaligus menjelaskan kerangka berpikir Soekarno yang berproses dari fisik empiris ke metafisik. Kerangka berpikir ini dengan sendirinya menjelaskan pernyataan Soekarno bahwa ia bukan pencipta Pancasila, melainkan hanya menggali nilai-nilai dasar tersebut dari bumi kehidupan bangsa Indonesia. Dan isi pidato itu mengalir spontan dari dalam hati serta pikiran Soekarno.
Lantas, apakah karena itu pula, Soekarno mengabaikan dimensi keimanan dalam menyampaikan prinsip-prinsip yang menjadi sila-sila dari pada Pancasila ?
Jika menyimak Pidato 1 Juni 1945, sesungguhnya saat Soekarno menjelaskan prinsip kebangsaan, ia telah meletakkan konsep negara sebagai sesuatu yang berciri khas Indonesia yang didalamnya terkandung nilai –nilai keimanan. Dalam pidato itu Soekarno berkata:
“.. Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan gemeinschaftnya dan perasaan orangnya, “I ame et le desir. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia. Apakah tempat itu ? tempat itu adalah tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia.................................
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita ? Menurut geopolitik maka Indonesia-lah tanah air kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja atau Selebes saja atau Ambon saja atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah tanah air kita (Pidato 1 Juni 1945)
Beberapa hal penting dari pidato diatas adalah:
Soekarno menghendaki negara yang dibangun adalah negara kebangsaan (nation state) yang menghimpun dan mengayomi keanekaragaman masyarakat Indonesia.
Soekarno menilai konsep “bangsa” dari sejumlah pemikir barat yang hanya melihat bangsa dari aspek “gemeinschaft” (karakter dan perangai manusia), tidak melihat adanya pertautan bangsa dengan alam yang menjadi ruang kehidupannya (lebensraum).
Bangsa dan negara sebagai sesuatu yang memiliki makna spiritual, yakni memiliki dimensi keimanan (tauhid), karena terbentuknya bangsa dan negara ini sebagai kehendak illahi.
Bagi Soekarno bangsa dan negara Indonesia tidak hanya suatu fenomena sosiologis, tapi juga memiliki makna geopolitik dan teologis. Tampaknya, Soekarno sengaja menjelaskan ketiga hal itu dibagian awal saat mengupas prinsip kebangsaan, karena sesungguhnya saat menyampaikan pidato itu, kemungkinan besar ia kuatir apa yang ia sampaikan bakal ditolak sebagian anggota BPUPKI --sebagaimana pembicara sebelumnya—terutama oleh mereka yang mengusulkan konsep negara berdasar agama.
Mengedepankan dimensi ketuhanan sebagai bagian yang esensial dari kebangsaan dan kenegaraan yang hendak dibangun bersama tentu dapat menentramkan hati anggota BPUPKI termasuk mereka yang mengusung aspirasi negara berdasar agama. Apalagi hal yang sama secara tersirat juga dipertegas pada saat menjelaskan prinsip kedua, yakni Internasionalisme dengan mengutip pendapat Mahatma Gandhi, yakni “My Nationality Is Humanity” dan prinsip ketiga yakni Permusyawaratan/Perwakilan yang memberikan peluang bagi pemeluk agama memperjuangkan aspirasinya
“Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang Islam –maaf beribu-ribu maaf, keislaman jauh belum sempurna—tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tak lain, tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama yaitu dengan jalan pembicaraan atau pun permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan rakyat. (Pidato 1 Juni 1945)
Menghubungkan prinsip kebangsaan, internasionalisme (peri kemanusiaan) serta prinsip permusyawaratan/perwakilan, tidak hanya menunjukkan kemampuan Soekarno mengadopsi pemikiran barat modern, tapi sekaligus memperbaikinya dengan memberi landasan keimanan. Beberepa sumber menjelaskan dalam soal kebangsaan, Soekarno memang cenderung memandangnya sebagai fenomena sosial, sebagai fakta empiris. Tapi, persinggungannya dengan H Agus Salim, membuka cakrawala baru tentang kebangsaan sebagai fenomena teologis, yakni tauhid dalam ajaran Islam.
Tauhid mengandung pengertian adanya kesatuan yang Mutlak yakni Allah. Selain itu prinsip Tauhid mengandung pengertian akan kesamarataan semua makhluk di depan Allah SWT tanpa membedakan rasa dan asal usulnya.
Beberapa catatan tentang Ketuhanan dalam Pidato Lahir Pancasila 1 Juni 1945
Oleh:
Paulus Londo
Disampaikan pada:
Diskusi Bulanan "Revitalisasi Pemikiran Soekarno, Pancasila - Sila I: Ketuhanan YME"
Terkait Pidato 1 Juni 1945, maka satu hal yang kerap dipertanyakan oleh berbagai pihak adalah penempatan “Prinsip Ketuhanan” pada urutan terakhir, sementara prinsip Kebangsaan pada urutan pertama. Oleh karena itu beberapa kalangan menilai Soekarno seorang nasionalis sekularis, setidaknya jika menggunakan alur logika barat. Tetapi, penilaian seperti ini kerap terbantahkan jika melihat alur pemikiran Soekarno di berbagai tulisan dan pidatonya, yang sesungguhnya sarat dengan nilai-nilai keimanan (tauhid).
Pada tulisannya berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,” dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, terlihat dengan jelas upaya Soekarno mempertemukan aliran pemikiran yang oleh banyak kalangan mustahil dapat dipertemukan seraya menempatkannya dalam perspektif keimanan. Yakni dengan melihat esensi dan makna yang lebih tinggi atau hogere optrekking dari masing-masing paham itu. Dalam tulisan yang diterbitkan oleh Suluh Indonesia Muda (1926) Sukarno mengatakan:
“…nasionalisme di dalam kelebaran dan keluasannya mengasih tempat cinta pada lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup … nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam roh’ …”
Lalu, mengapa pada Pidato 1 Juni 1945, Prinsip Ketuhanan diuraikan paling terakhir ? Jawabannya bisa beragam. Tapi jika dikaitkan dengan konteks pidato tersebut, maka penempatan Prinsip Kebangsaan pada urutan pertama, tidak semata-mata pertimbangan teknis untuk memberikan jawaban to the point terhadap pertanyaan Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat, tentang prinsip utama yang jadi fondasi bagi negara yang akan dibangun, tetapi sekaligus menjelaskan kerangka berpikir Soekarno yang berproses dari fisik empiris ke metafisik. Kerangka berpikir ini dengan sendirinya menjelaskan pernyataan Soekarno bahwa ia bukan pencipta Pancasila, melainkan hanya menggali nilai-nilai dasar tersebut dari bumi kehidupan bangsa Indonesia. Dan isi pidato itu mengalir spontan dari dalam hati serta pikiran Soekarno.
Lantas, apakah karena itu pula, Soekarno mengabaikan dimensi keimanan dalam menyampaikan prinsip-prinsip yang menjadi sila-sila dari pada Pancasila ?
Jika menyimak Pidato 1 Juni 1945, sesungguhnya saat Soekarno menjelaskan prinsip kebangsaan, ia telah meletakkan konsep negara sebagai sesuatu yang berciri khas Indonesia yang didalamnya terkandung nilai –nilai keimanan. Dalam pidato itu Soekarno berkata:
“.. Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan gemeinschaftnya dan perasaan orangnya, “I ame et le desir. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia. Apakah tempat itu ? tempat itu adalah tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia.................................
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita ? Menurut geopolitik maka Indonesia-lah tanah air kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja atau Selebes saja atau Ambon saja atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah tanah air kita (Pidato 1 Juni 1945)
Beberapa hal penting dari pidato diatas adalah:
Soekarno menghendaki negara yang dibangun adalah negara kebangsaan (nation state) yang menghimpun dan mengayomi keanekaragaman masyarakat Indonesia.
Soekarno menilai konsep “bangsa” dari sejumlah pemikir barat yang hanya melihat bangsa dari aspek “gemeinschaft” (karakter dan perangai manusia), tidak melihat adanya pertautan bangsa dengan alam yang menjadi ruang kehidupannya (lebensraum).
Bangsa dan negara sebagai sesuatu yang memiliki makna spiritual, yakni memiliki dimensi keimanan (tauhid), karena terbentuknya bangsa dan negara ini sebagai kehendak illahi.
Bagi Soekarno bangsa dan negara Indonesia tidak hanya suatu fenomena sosiologis, tapi juga memiliki makna geopolitik dan teologis. Tampaknya, Soekarno sengaja menjelaskan ketiga hal itu dibagian awal saat mengupas prinsip kebangsaan, karena sesungguhnya saat menyampaikan pidato itu, kemungkinan besar ia kuatir apa yang ia sampaikan bakal ditolak sebagian anggota BPUPKI --sebagaimana pembicara sebelumnya—terutama oleh mereka yang mengusulkan konsep negara berdasar agama.
Mengedepankan dimensi ketuhanan sebagai bagian yang esensial dari kebangsaan dan kenegaraan yang hendak dibangun bersama tentu dapat menentramkan hati anggota BPUPKI termasuk mereka yang mengusung aspirasi negara berdasar agama. Apalagi hal yang sama secara tersirat juga dipertegas pada saat menjelaskan prinsip kedua, yakni Internasionalisme dengan mengutip pendapat Mahatma Gandhi, yakni “My Nationality Is Humanity” dan prinsip ketiga yakni Permusyawaratan/Perwakilan yang memberikan peluang bagi pemeluk agama memperjuangkan aspirasinya
“Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang Islam –maaf beribu-ribu maaf, keislaman jauh belum sempurna—tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tak lain, tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama yaitu dengan jalan pembicaraan atau pun permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan rakyat. (Pidato 1 Juni 1945)
Menghubungkan prinsip kebangsaan, internasionalisme (peri kemanusiaan) serta prinsip permusyawaratan/perwakilan, tidak hanya menunjukkan kemampuan Soekarno mengadopsi pemikiran barat modern, tapi sekaligus memperbaikinya dengan memberi landasan keimanan. Beberepa sumber menjelaskan dalam soal kebangsaan, Soekarno memang cenderung memandangnya sebagai fenomena sosial, sebagai fakta empiris. Tapi, persinggungannya dengan H Agus Salim, membuka cakrawala baru tentang kebangsaan sebagai fenomena teologis, yakni tauhid dalam ajaran Islam.
Tauhid mengandung pengertian adanya kesatuan yang Mutlak yakni Allah. Selain itu prinsip Tauhid mengandung pengertian akan kesamarataan semua makhluk di depan Allah SWT tanpa membedakan rasa dan asal usulnya.